aku tak pernah mengiba pada perbedaan
untuk berjalan akur bergandengan tangan
di satu jalan mulus, di satu garis lurus
hanya untuk mengukir lesung pipiku
aku tak pernah memaksa jemarimu
untuk tersulam saat mengucap doa
yang kumau kau taat pada-Nya
sembari mengajukan 'kita'
aku hanya ingin dicinta
serumit sederhana
dan bahagia tanpa didikte paradigma
bagaimana Sang Pencipta menjadi kata tabu
bagi lidah kita, yang mengucap "Allah" dengan bunyi berbeda.
books
Minggu, 06 Januari 2013
surat yang tak pernah SAMPAI
Suratmu itu tidak akan pernah terkirim, karena sebenarnya kamu hanya
ingin berbicara kepada dirimu sendiri. Kamu ingin berdiskusi dengan
angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dari
tukang bunga berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan,
dengan malam, dengan detik jam... tentang dia.
untuk kamu,
yang kepadanya, baik surat maupun perasaanku, tidak pernah sampai.
Dia, yang tidak pernah kamu mengerti. Dia, racun yang membunuhmu perlahan. Dia, yang kamu reka dan kamu cipta.
Sebelah darimu menginginkan agar dia datang, membencimu hingga muak dia
mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, kekhilafannya untuk
sampai jatuh hati kepadamu, menyesalkan magis yang hadir naluriah setiap
kali kalian berjumpa. Akan kamu kirimkan lagi tiket bioskop, bon
restoran, semua tulisannya -- dari mulai nota sebaris sampai doa
berbait-bait. Dan beceklah pipinya karena geli, karena asap, dan abu
dari benda-beda yang dia hanguskan -- bukti-bukti bahwa kalian pernah
saling tergila-gila -- beterbangan masuk ke matanya. Semoga dia pergi
dan tak pernah menoleh lagi. Hidupmu, hidupnya, pasti akan lebih mudah.
Namun, sebelah dari kamu menginginkan agar dia datang, menjemputmu,
mengamini kalian, dan untuk kali kesekian, jatuh hati lagi,
segila-gilanya, sampai batas gila dan waras pupus dalam kesadaran murni
akan cinta. Kemudian, mendamparkan dirilah kalian di sebuah alam tak
dikenal untuk membaca setiap inci perjalanan, perjuangan, dan ketabahan
hati. Betapa sebelah darimu percaya bahwa setetes air mata pun akan
terhitung, tak ada yang mengalir mubazir, segalanya pasti bermuara di
satu samudra tak terbatas, lautan merdeka yang bersanding sejajar dengan
cakrawala... dan itulah tujuan kalian.
Kalau saja hidup tidak berevolusi, kalau saja sebuah momen dapat
selamanya menjadi fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik
mampu stagnan di satu titik, maka... tanpa ragu kamu akan memilih satu detik bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu.
Satu detik yang segenap keberadaannya dipersembahkan untuk bersamamu,
dan bukan dengan ribuan hal lain yang menanti untuk dilirik pada detik
berikutnya. Betapa kamu rela membatu untuk itu.
Akan tetapi, hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Realitas berubah.
Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis
apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya
yang jujur tetapi penuh rahasia. Kamu, tidak terkecuali.
Kamu takut.
Kamu takut karena ingin jujur. Dan kejujuran menyudutkanmu untuk
mengakui kamu mulai ragu. Dialah bagian terbesar dalam hidupmu, tetapi
kamu cemas. Kata "sejarah" mulai menggantung hati-hati di atas sana.
Sejarah kalian. Konsep itu menakutkan sekali.
Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tetapi tidak lagi
melekat utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak padat
berisi tetapi ketika disentuh menjadi embun yang rapuh.
Skenario perjalanan kalian mengharuskanmu untuk sering menyejarahkannya,
merekamnya, lalu memainkannya ulang di kepalamu sebagai sang Kekasih
Impian, sang Tujuan, sang Inspirasi bagi segala mahakarya yang
termuntahkan ke dunia. Sementara dalam setiap detik yang berjalan,
kalian seperti musafir yang tersesat di padang. Berjalan dengan kompas
masing-masing, tanpa ada usaha saling mencocokkan. Sesekali kalian
bertemu, berusaha saling toleransi atas nama Cinta dan Perjuangan yang
Tidak Boleh Sia-Sia. Kamu sudah membayar mahal untuk perjalanan ini.
Kamu pertaruhkan segalanya demi apa yang kamu rasa benar. Dan
mencintainya menjadi kebenaran tertinggimu.
Lama, baru kamu menyadari bahwa pengalaman merupakan bagian tak
terpisahkan dari hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutual. Lama
bagi kamu untuk berani menoleh ke belakang, menghitung, berapa banyakkah
pengalaman nyata yang kalian alami bersama?
Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi
hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinya diagungkan
bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan, serta
perdagangan kalkulatif antara dua pihak.
Cinta butuh dipelihara. Bahwa di dalam sepak terjangnya yang
serba-mengejutkan, cinta ternyata masih butuh mekanisme agar mampu
bertahan. Cinta jangan selalu ditempatkan sebagai iming-iming besar,
atau seperti ranjau yang tahu-tahu meledakkanmu -- entah kapan dan
kenapa. Cinta yang sudah dipilih sebaiknya diikutkan di setiap langkah
kaki, merekatkan jemari, dan berjalanlah kalian bergandengan... karena
cinta adalah mengalami.
Cinta tidak hanya pikiran dan kenangan. Lebih besar, cinta adalah dia
dan kamu. Interaksi. Perkembangan dua manusia yang terpantau agar tetap
harmonis. Karena cinta pun hidup dan bukan cuma maskot untuk disembah
sujud.
Kamu ingin berhenti memencet tombol tunda. Kamu ingin berhenti menyumbat denyut alami hidup dan membiarkannya bergulir tanpa beban. Dan kamu tahu, itulah yang tidak bisa dia berikan kini. Hingga akhirnya....
Di meja itu, kamu dikelilingi tulisan tangannya yang tersisa (kamu baru sadar betapa tidak adilnya ini semua. Kenapa harus kamu yang kebagian tugas dokumentasi dan arsip sehingga cuma kamulah yang tersiksa?). Jangan heran kalau kamu menangis sejadi-jadinya.
Dia, yang tidak pernah menyimpan gambar rupamu, pasti tidak tahu apa rasanya menatap lekat-lekat satu sosok, membayangkan rasa sentuh dari helai rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hangat uap tubuh yang kamu hafal betul temperaturnya.
Dan kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, dengan wangi bunga yang melangu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa, dengan malam yang pasrah digusur pagi, dengan detik jam dinding yang gagu karena habis daya.
Sampai pada halaman kedua suratmu, kamu yakin dia akan paham, atau setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkan bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.
Atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata "jangan" yang mungkin, apabila diucapkan dan ditindakkan dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lagi.
Kamu pun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami.
Ketika surat itu tiba di titiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai. Bagian dari dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati sedahsyat itu. Dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap untuk terus menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut, tenagamu pun sudah menyurut, maka kamu akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya.
Mungkin, suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan berteriak-teriak ingin pulang. Dan kamu akan menjemputnya, lalu membiarkan sejarah membentengi dirinya dengan tembok tebal yang tak lagi bisa ditembus. Atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercu suar, kompas, Bintang Selatan... yang menunjukkan jalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya, menemuiku.
Aku, yang merasakan apa yang kau rasakan. Yang mendamba untuk mengalami. Aku, yang telah menuliskan surat-surat cinta kepadamu. Surat-surat yang tak pernah sampai.
Kamu ingin berhenti memencet tombol tunda. Kamu ingin berhenti menyumbat denyut alami hidup dan membiarkannya bergulir tanpa beban. Dan kamu tahu, itulah yang tidak bisa dia berikan kini. Hingga akhirnya....
Di meja itu, kamu dikelilingi tulisan tangannya yang tersisa (kamu baru sadar betapa tidak adilnya ini semua. Kenapa harus kamu yang kebagian tugas dokumentasi dan arsip sehingga cuma kamulah yang tersiksa?). Jangan heran kalau kamu menangis sejadi-jadinya.
Dia, yang tidak pernah menyimpan gambar rupamu, pasti tidak tahu apa rasanya menatap lekat-lekat satu sosok, membayangkan rasa sentuh dari helai rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hangat uap tubuh yang kamu hafal betul temperaturnya.
Dan kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, dengan wangi bunga yang melangu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa, dengan malam yang pasrah digusur pagi, dengan detik jam dinding yang gagu karena habis daya.
Sampai pada halaman kedua suratmu, kamu yakin dia akan paham, atau setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkan bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.
Atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata "jangan" yang mungkin, apabila diucapkan dan ditindakkan dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lagi.
Kamu pun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami.
Ketika surat itu tiba di titiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai. Bagian dari dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati sedahsyat itu. Dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap untuk terus menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut, tenagamu pun sudah menyurut, maka kamu akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya.
Mungkin, suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan berteriak-teriak ingin pulang. Dan kamu akan menjemputnya, lalu membiarkan sejarah membentengi dirinya dengan tembok tebal yang tak lagi bisa ditembus. Atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercu suar, kompas, Bintang Selatan... yang menunjukkan jalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya, menemuiku.
Aku, yang merasakan apa yang kau rasakan. Yang mendamba untuk mengalami. Aku, yang telah menuliskan surat-surat cinta kepadamu. Surat-surat yang tak pernah sampai.
untuk kamu,
yang kepadanya, baik surat maupun perasaanku, tidak pernah sampai.
Langganan:
Postingan (Atom)